Oleh : Nurhayat Arif Permana
Kota Palembang berusia 1327 tahun, sejak dikukuhkannya Sriwijaya menjadi Kerajaan maritim terbesar di Nusantara. Selama rentang waktu tersebut, sudah banyak peristiwa bersejarah yang terjadi. Sebagian tercatat, sebagian lagi tercecer entah dimana.
Mendokumentasikan tempat-tempat dan peristiwa bersejarah bisa dilakukan dengan berbagai ragam cara. Melalui catatan yang direkam melalui manuskrip, teks, simbol maupun gambar. Semua itu butuh perhatian, minat, maupun daya kerja yang kritis dan tak punya pretensi politis.
Kini kota Palembang telah menjadi salah satu kota besar di Indonesia. Di masa kejayaan Nusantara, Palembang dikenal sebagai kota dengan seribu sungai. Rumah, bangunan-bangunan penting, dan transportasi dilakukan di atas serta lewat sungai. Moda transportasi adalah perahu, jukung, ketek dan kapal-kapal besar.
Komunikasi antarmanusia juga dilakukan dengan tatacara "sungai" sehingga beribu tahun setelahnya, terbentuklah peradaban yang unik. Bahkan, ketika Belanda masuk ke Nusantara untuk melakukan ekspansi dagang, mereka melihat Palembang seolah-seolah seperti kota Venesia di Italia. Lalu –-entah serius atau olok-olok—mereka menjuluki Palembang sebagai “Venesia dari Timur.”
Sungai-sungai itu—ratusan jumlahnya—menjadi urat nadi kehidupan orang-orang Palembang. Sampai pada suatu saat, ketika tradisi sungai sudah mulai ditinggalkan lalu modernisasi diterjemahkan melalui daratan, sungai-sungai mulai ditelantarkan. Sebagian besar ditimbun, tergusur oleh sedimentasi kemudian anak-anak sungai mulai mengerucut hingga hilang. Palembang tidak lagi menjadi kota seribu sungai. Kini yang tertinggal hanya sang induk dengan beberapa anaknya yang bertahan menunggu waktu. Kini anak-anak sungai itu jadi selokan, siring atau got. Who’s care?
Siapa yang menjadi saksi hilangnya sungai-sungai itu? Foto-foto, cerita-cerita atau kabar angin lalu yang sulit dibayangkan bahwa—misalnya—salah satu mall besar di kota ini dulunya adalah perlaluan sungai besar. Kini Kota Palembang menghadapi risiko besar: banjir (dulu saja ketika masih banyak anak sungai, Kota Palembang sering kebanjiran akibat pasang surut), punahnya beberapa spesies ikan, dan lain-lain.
Usa Kismada, pelukis yang puluhan tahun mendedikasikan diri menjadi seniman lukis, diam-diam mendokumentasikan kisah-kisah di atas. Sejak tahun 1972, pelukis kelahiran 26 april 1955 ini dengan tekun mencatatnya melalui sketsa. Dia melihat Sungai Rendang, Sungai Tengkuruk, Sungai Aur, Sungai Jeruju, Sungai Kedukan, Sungai Sekanak, Sungai Limbungan serta perikehidupan masyarakat Palembang lainnya lalu memindahkannya di atas kertas.
Selain itu, bangunan-bangunan lama Kota Palembang, seperti Bioskop Saga, Hotel Musi, serta beberapa perkampungan di 23 dan 24 ilir tidak luput dari objek sketsanya. Sketsa-sketsa itu—Usa membuat sedikitnya 10 sketsa setiap harinya—jumlahnya ribuan dengan beragam objek. Sayangnya ketika rumahnya tampis oleh hujan, sebagian besar sketsa itu rusak. Kini hanya ratusan saja yang berhasil dia selamatkan. Usa berpameran pertama kali sejak tahun 1974 dan pameran tunggal sketsa tahun 1984 di Ruang Dempo Raya Taman Budaya Sriwijaya. Kini ruang dia berpameran pun telah tidak ada lagi, berganti menjadi mall.
Sketsa-sketsa Usa umumnya menggunakan tinta di atas kertas. Sapuannya tegas, rapi dan di antaranya cukup detail. Bila melihat karya-karya sketsa, tak salah kiranya bila kita mengutip Le Meyers yang memandang sketsa sebagai gambar catatan. Pada pengertian ini, terdapat keinginan perupanya untuk merekam kejadian atau objek yang dilihat sebagai momen yang menarik perhatian dengan cepat dan spontan. Meyers membuktikan ucapannya melalui karya-karyanya yang sangat spontan tentang kehidupan di Bali. Di Indonesia sendiri, banyak pelukis yang membuat sketsa sebagai karya murni senirupa. Bahkan di awal tahun 2011, Ugo Untoro memamerkan 2.000 sketsa dan drawingnya di Taman Budaya Yogjakarta. Catatan kuratorial Aminuddin TH Siregar pada pameran bertajuk “Papers and Ugo” ini, Ugo tegas sekali mengatakan kedudukan kertas sama dengan kanvas, katanya:
Yang jelas, aku tidak setuju apabila kasta kertas di bawah kanvas. Menurutku kertas justru lebih besar hati daripada kanvas. Ia menampung coretan tak bermakna, gambar-gambar gagal, disobek, dibuang…”(Ugo Untoro, 2010)
Usa Kismada selain menggunakan piranti kertas dan tinta, juga menggunakan kanvas dan cat minyak. Tetapi pada media kanvas, Usa lebih banyak melukis kaligrafi.
Pada pameran menjelang tutup tahun 2011, Usa Kishmada menampilkan sekitar 80 karya sketsa saja. Karya-karya ini dia buat dalam kurun waktu tahun 1974 hingga awal tahun 1990-an. Pameran Sketsa Usa Kismada ini mudah-mudahan tidak hanya mendatangkan kembali kenangan kita tentang Kota Palembang lama, tetapi menggerakkan hati agar lebih arif lagi dalam memandang alam, berikut semua peradaban yang ada. Semoga ada kesadaran bahwa beberapa warisan alam dan budaya penting yang telah hilang jangan sampai terulang kembali.
Beritamusi.com -- 14.12.2011
0 komentar:
Posting Komentar