Senin, 26 Desember 2011

Mempertimbangkan Tari Gending Sriwijaya

Oleh: TAUFIK WIJAYA *)

SUDAH lama tari persembahan Gending Sriwijaya tidak dibicarakan. Beberapa tahun lalu di masa Orde Baru, tarian ini sempat dibicarakan hangat, sebab salah satu kreatornya dituduh merupakan aktifis komunis. Beberapa hari terakhir ini, tarian ini kembali dibicarakan sebab tidak ditampilkan dalam pembukaan Festival Sriwijaya ke-19.

Hal ini jelas mengejutkan, sebab selama ini tari Gending Sriwijaya selalu ditampilkan dalam peristiwa kebudayaan tahunan tersebut.

Awalnya, seperti yang lainnya saya juga terkejut. Namun, guna memperlebarkan wacana tersebut, setelah dipertimbangkan secara rasional, tidak ditampilkannya tarian tersebut menurut saya dapat diterima, sebab jika ditelisik secara mendalam ternyata tari Gending Sriwijaya itu masih perlu dipertanyakan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnnya, terkait dengan kebudayaan Sriwijaya.

Pertanyaan pentingnya, benarkah tari Gending Sriwijaya itu merupakan karya seni berdasarkan tradisi dan diwariskan oleh kebudayaan Sriwijaya?

Secara sepintas, ketika menikmati tari Gending Sriwijaya, saya merasakan kuatnya pengaruh kebudayaan Palembang. Tepatnya, tari Gending Sriwijaya lebih menonjolkan karakter Melayu-Jawa. Hal itu terasa dari simbol yang terlihat dari unsur gerak, bunyi, dan rupa.

Sementara dalam pengetahuan saya yang terbatas, kebudayaan Sriwijaya jelas berbeda dengan kebudayaan Palembang. Kerajaan Sriwijaya berkembang dan tumbuh jauh sebelum kebudayaan Palembang dilahirkan para priyayi Jawa-Melayu.

Saya justru menerima jika sebuah karya seni yang mengambil semangat kebudayaan Sriwijaya dengan mengadopsi tradisi Dataran Tinggi Bukitbarisan Pasemah dan Komering. Sebab kedua kebudayaan itu lahir dan tumbuh jauh sebelum kerajaan Sriwijaya berdiri, yang diasumsikan turut memengaruhi kebudayaan Sriwijaya.

Juga, dasar gerak atau tari Sriwijaya juga sulit ditemukan dari bukti-bukti keberadaan kerajaan Sriwijaya. Ini berbeda dengan sejumlah tari yang lahir di Jawa, Bali, dan Melayu, yang memiliki dasar tradisi gerak yang diwariskan pada masanya.

Mengutip pemikiran sejarawan R. Soekmono, misalnya, sejumlah tari yang lahir dalam kebudayaan Jawa dan Bali, terbaca pada relief-relief candi yang ada hingga saat ini, seperti pada candi Prambanan, Borobudur dan Rorojongrang. Misalnya gerak yang tercermin pada relief di candi Prambanan mengingatkan pada seni tari Reog.

Maka, dengan tidak mengecilkan rasa hormat terhadap para kreator tari persembahan Gending Sriwijaya, tampaknya studi pembuatan tarian tersebut belum optimal dalam penggalian kebudayaan Sriwijaya.

Mungkin, pemberian nama judul “Gending Sriwijaya” hanya semacam penanda terhadap spirit kebudayaan Sriwijaya. Ini sama halnya dengan penamaan PT Pupuk Sriwidjaja, Sriwijaya FC, Sriwijaya Post, ataupun Sriwijaya Air.



Jika asumsi saya di atas memiliki kebenaran, tampaknya perlu dilakukan urun-rembug terhadap keberadaan tari persembahan yang benar-benar beranjak dari kebudayaan Sriwijaya. Semangat ini misalnya selintas ditawarkan Vebri Al-Lintani dalam sebuah artikelnya di sebuah harian di Palembang beberapa hari lalu, menanggapi tidak ditampilkannya tari Gending Sriwijaya dalam pembukaan Festival Sriwijaya beberapa waktu lalu.

Urun-rembug ini jelas melibatkan banyak pihak, bukan hanya pekerja seni, juga para pekerja budaya, akademisi, dan peneliti kebudayaan.

Bukan tidak mungkin, tari Gending Sriwijaya yang sudah “terindentik” dengan kebudayaan Sriwijaya mengalami berbagai perbaikan atau inovasi, terkait dengan gerak, musik, dan rupa, yang tentunya lebih memperkuat atau memperjelas dasar filosofisnya yang terkait dengan kebudayaan Sriwijaya.

Bila hal ini terasa berat dilakukan, sebab tari Gending Sriwijaya merupakan karya seni yang sudah mengakar dan diketahui pakemnya oleh masyarakat Nusantara dan mancanegara, bukan tidak mungkin dilahirkan sebuah tari baru yang benar-benar beranjak dari tradisi yang diwariskan oleh kebudayaan Sriwijaya.

Tari baru yang bernapaskan kebudayaan Sriwijaya ini mungkin dapat dijadikan tari persembahan buat berbagai kegiatan yang terkait dengan spirit kerajaan Sriwijaya. Sementara tari Gending Sriwijaya biarkanlah menyebar sebagai sebuah karya seni, yang tetap utuh seperti saat dilahirkan dulu.

Demikianlah pemikiran sederhana ini, semoga bermanfaat bagi kita guna melanjutkan kerja-kerja kebudayaan yang terkait dengan spirit kebudayaan Sriwijaya, yang telah membangun Nusantara dengan semangat demburan ombak lautan dan arus ribuan sungai.

*) Penulis jurnalis dan pekerja seni

Berita Musi, 29.06.2010 19:30:37 WIB

0 komentar:

Posting Komentar